Berbagai konflik dengan kekerasan terjadi di sejumlah daerah
Indonesia, seperti yang baru saja terjadi di Bima. Realitas sosial seperti ini
dapat dianalisis dengan berbagai teori konflik. Intinya adalah menjelaskan
bahwa masyarakat bersaing dan berkonflik demi sumber daya ataupun identitas.
Salah satunya adalah dengan pendekatan Realisme Kritis
(Danermark dkk, 2002, Roy Bhaskar, 1978), di mana realitas sosial dibagi dalam
tiga lapis. Pada lapis teratas terdapat peristiwa yang terlihat seperti
konflik, sementara ”akar-akar” konflik terjadi pada lapis kedua berupa
pembuatan kebijakan (perda, UU, UUD) dan lapis ketiga berupa penafsiran
ideologi (Pancasila).
Konflik terjadi karena dipicu mekanisme kekuasaan dan
kebijakan yang kurang prorakyat dan penyimpangan penafsiran ideologi. Maka,
untuk mengatasi kondisi ini diperlukan mekanisme tandingan yang korektif berupa
pemikiran dan aksi kolektif untuk merumuskan kembali kebijakan (perda, UU, UUD)
ataupun dalam menafsirkan ideologi Pancasila.
Konflik kebijakan
Menurut berbagai berita dari media massa, konflik kekerasan
yang terjadi di Bima disebabkan ancaman pencemaran lingkungan, polisi yang
bertindak berlebihan, adanya mobilisasi massa, dan sakralnya tanah di daerah
tambang.
Keadaan serupa terjadi di sejumlah daerah, sementara aparat
keamanan terpaksa menjaga kestabilan yang tidak adil. Konflik pada lapisan
teratas ini sebenarnya merupakan konflik transformatif, di mana masyarakat
menolak reproduksi ketidakadilan dan berupaya mengubah struktur agar mereka
memperoleh akses ke sumber daya alam. Mereka berkonflik untuk memperoleh
keadilan dari bawah karena tiadanya keadilan dari atas Namun, berbagai
penjelasan dan solusi pada lapisan belum menyentuh mekanisme di bawahnya, yakni
pembuatan kebijakan.
Di lapisan kedua atau kebijakan, banyak perda yang tidak
sesuai dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti UU bahkan UUD, dan kurang
inklusif bagi komunitas. Khusus untuk mineral dan batubara, saat ini menurut
Menko Perekonomian, ada 6.000 (75 persen) dari 8.000 perda izin tambang yang
bermasalah atau tumpang tindih. ”Bom waktu” ini telah meledak di sejumlah
tempat. Selain itu, terdapat pula Undang-Undang Tambang Nomor 4 Tahun 2009 yang
kurang inklusif, di mana komunitas sekitar tambang tidak disertakan dalam
kepemilikan.
Dalam UU Tambang warga diberi kesempatan untuk memperoleh
izin tambang rakyat dalam skala kecil (individu 1 hektar, kelompok 5 hektar,
dan koperasi 10 hektar selama lima tahun). Namun, jika ada perusahaan negara
dan swasta dalam negeri dan asing yang besar, mereka tidak diberi saham. Jika
pola kepemilikan tambang (hutan dan migas) adalah inklusif, komunitas sekitar
akan merasa menjadi pemilik serta bersedia menjaga dan mengembangkan tambang
dengan pemilik lainnya, baik negara maupun swasta.
Pada lapisan tengah telah terjadi koreksi untuk mengatasi
perda bermasalah dengan didirikannya 29 Pusat Pelayanan Hukum dan HAM di bawah
Kemenkumham untuk mengevaluasi perda. Upaya lain dilakukan oleh Majelis Rakyat
Kalimantan Timur Bersatu yang meminta uji materi UU No 33/2004 tentang porsi
dana bagi hasil migas yang dianggap tidak sesuai dengan UUD 1945.
Di UUD, khususnya Pasal 33, masih tercantum kata ”kemakmuran
sebesar-besarnya bagi rakyat” yang masih terlalu abstrak. Rakyat yang mana?
Rakyat di sekitar tambang pastilah bingung mengapa mereka lebih merasa kekayaan
alam mereka dicuri dan dijarah. Seharusnya rakyat yang paling dekat dengan
sumber daya alam merupakan prioritas dan pola yang penting adalah memberi
mereka saham, misalnya 20 persen dalam koperasi komunitas atau badan usaha
milik desa (BUMD).
Jadi, komunitas tidak hanya menerima bantuan dari negara
seperti dalam UU Minerba No 33/2004, di mana royalti diberikan kepada pusat (20
persen), provinsi (16 persen), kabupaten/kota penghasil (32 persen), dan
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi itu (32 persen). Namun, desa ataupun
kecamatan penghasil tidak secara tegas dicantumkan dalam UU sehingga
terlupakan. Selain itu, kepemilikan oleh BUMD tidaklah berdampak signifikan
pada komunitas sekitar tambang, bahkan membuka peluang sebagai mesin politik
uang bagi pilkada dan pemilu.
Demikian pula bantuan oleh perusahaan dalam bentuk program
pengembangan komunitas, nilainya lebih sedikit dibandingkan dengan jika mereka
memiliki saham tambang tersebut. Saat ini, tanah rakyat telah di ”HGU (hak guna
usaha)”-kan kepada perusahaan dalam negeri dan asing (Mochtar Naim, ”Nasib
Tanah Adat”, Kompas, 23/2/2012). Di sini hukum jadi pedang pemegang kekuasaan
politik dan ekonomi, bukan sebagai ”alat timbang” keadilan.
Untuk mengatasi hal ini, UU Minerba perlu direvisi dan pada
amandemen kelima UUD 1945 untuk Pasal 33, perlu dicantumkan saham bagi koperasi
komunitas-BUMD di sekitar tambang. Jelaslah negara perlu melakukan renegosiasi
dengan perusahaan tambang sekaligus dengan komunitas sekitar tambang. Inklusi
komunitas akan menghasilkan keadilan dan pembangunan (social transformation
through equity). Sebaliknya, eksklusi menghasilkan ketidakadilan dan konflik.
Pemurnian ideologi
Dalam realitas sosial terbawah, terdapat ideologi yang
berisi cita-cita dan cara mencapainya. Dalam hal ini, Pancasila perlu
diperjelas dan dicantumkan dalam UUD 1945 sehingga dapat ”mengunci”
perundang-undangan yang lebih rendah. Sebenarnya Pancasila yang digagas oleh
Soekarno dan didukung oleh para pendiri republik dimaksudkan memberdayakan
rakyat dalam mengisi kemerdekaan (”Pancasila yang Transformatif”, Kompas,
8/6/2011).
Penerjemahan Pancasila dalam berbagai kebijakan masih kurang
populis dan kurang memihak rakyat bawah. Demikian pula dalam 11 butir nilai
Pedoman Penghayatan Pancasila tentang Keadilan Sosial yang dibahas adalah sikap
dan perilaku warga dalam bermasyarakat. Seharusnya salah satu penafsiran sila
kelima adalah ”Keadilan sumber daya alam bagi komunitas sekitarnya”.
Kondisi diperparah dengan kebijakan yang mendukung
”persaingan bebas sekali” atau ”Darwinisme Sosial” (swastanisasi, deregulasi)
yang mengabaikan rakyat. Untuk mengatasinya, perlu gugatan, revisi kebijakan,
dan pemurnian Pancasila di ranah publik, baik di pusat maupun daerah. Pemurnian
penafsiran ini akan membuat Pancasila menjadi ideologi yang lebih ”hidup” dan
”transformatif”, bukan hanya simbol dan retorika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar