Artikel tentang Peraturan dan
Regulasi ini terbagi dalam 2 bagian. Di bagian pertama ini akan dibahas tentang
Perbedaann Cyber Law, Computer Crime Act (Malaysia), dan Council
of Europe Convention on Cyber Crime.
Sebelumnya, mari kita pahami
terlebih dahulu definisi masing-masing dari peraturan dan regulasi.
Peraturan?
Peraturan
adalah sesuatu yang disepakati dan mengikat sekelompok orang/ lembaga dalam
rangka mencapai suatu tujuan dalam hidup bersama.
Regulasi?
Regulasi
adalah “mengendalikan perilaku manusia atau masyarakat dengan aturan atau
pembatasan.” Regulasi dapat dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya:
pembatasan hukum diumumkan oleh otoritas pemerintah, regulasi pengaturan diri
oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan, Regulasi sosial
(misalnya norma), co-regulasi dan pasar. Seseorang dapat, mempertimbangkan
regulasi dalam tindakan perilaku misalnya menjatuhkan sanksi (seperti denda).
Perkembangan teknologi yang sangat
pesat, membutuhkan pengaturan hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi
tersebut. Sayangnya, hingga saat ini banyak negara belum memiliki
perundang-undangan khusus di bidang teknologi informasi, baik dalam aspek
pidana maupun perdatanya.
Saat ini telah lahir hukum baru yang
dikenal dengan hukum cyber atau hukum telematika. Atau cyber law, secara
internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang
merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan
hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi
informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world
law), dan hukum mayantara.
Di Indonesia, sudah ada UU ITE, UU
No. 11 tahun 2008 yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektonik,
Undang-Undang ini memiliki jangkauan yurisdiksi tidak semata-mata untuk
perbuatan hukum yang berlaku di Indonesia dan/atau dilakukan oleh warga negara
Indonesia, tetapi juga berlaku untuk perbuatan hukum yang dilakukan di luar
wilayah hukum (yurisdiksi) Indonesia baik oleh warga negara Indonesia maupun
warga negara asing atau badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing yang
memiliki akibat hukum di Indonesia, mengingat pemanfaatan Teknologi Informasi
untuk Informasi Elektronik dan Transaksi Elektronik dapat bersifat lintas
teritorial atau universal.
Menanggapi keprihatinan konsumen akan perlunya
perlindungan information privacynya, ada baiknya dilakukan penelusuran terhadap
berbagai inisiatif internasional dalam mengembangkan prinsip-prinsip
perlindungan data (data protection). Selama ini terdapat 3 (tiga) instrument
internasional utama yang mengatur mengenai prinsip-prinsip perlindungan data,
yaitu:
- The Council of European Convention for the Protection of Individuals with Regard to the Processing of Personal Data Dalam Konvensi ini dijabarkan prinsip-prinsip bagi data protection yang meliputi :
- Data harus diperoleh secara fair dan sah menurut hukum (lawful).
- Data disimpan untuk tujuan tertentu dan sah serta tidak digunakan dengan cara yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
- Penggunaan data secara layak, relevan dan tidak berlebihan dalam mencapai tujuan dari penyimpanan data tersebut.
- Pengelolaan data secara akurat dan membuatnya tetap actual.
- Pemeliharaan data dalam suatu format yang memungkinkan identifikasi terhadap data subject untuk jangka waktu yang tidak lebih lama dari yang diperlukan untuk maksud penyimpanan data tersebut.
Definisi
Peraturan dan Regulasi
menurut kamus besar Bahasa Indonesia peraturan adalah
ketentuan yang mengikat warga kelompok masyarakat, dipakai sebagai panduan,
tatanan, dan kendalikan tingkah laku yang sesuai dan diterima. Setiap warga
masyarakat harus menaati aturan yang berlaku, atau ukuran, kaidah yang dipakai
sebagai tolak ukur untuk menilai atau membandingkan sesuatu.
Sedangkan regulasi adalah mengendalikan perilaku
manusia atau masyarakat dengan aturan atau pembatasan. Regulasi dapat dilakukan
dengan berbagai bentuk, misalnya: pembatasan hukum diumumkan oleh otoritas pemerintah,
regulasi pengaturan diri oleh suatu industri seperti melalui asosiasi perdagangan,
Regulasi sosial (misalnya norma), co-regulasi dan pasar. Seseorang dapat,
mempertimbangkan regulasi dalam tindakan perilaku misalnya menjatuhkan sanksi
(seperti denda). Tindakan hukum administrasi, atau menerapkan regulasi hukum,
dapat dikontraskan dengan hukum undang-undang atau kasus.
Selain di dunia nyata, ternyata di dunia maya pun
terdapat peraturan yang disebut dengan Cyberlaw, yang berasal dari dua kata yaitu
cyber (dunia maya) dan law (hukum). Peraturan ini diberlakuan karena dunia maya
tidak hanya berupa Informasi yang berguna tapi juga terdapat tindak kejahatan. Hukum
yang ada pada dunia maya berbeda sebutannya, di antaranya adalah CYBERLAW,
COMPUTER CRIME LAW & COUNCILE OF EUROPE CONVENTION ON CYBERCRIME. Walaupun
maksud dari ketiga hukum di atas sama,tapi terdapat perbedaan yang sangat
besar.Perbedaannya terdapat pada wilayah hukum itu berjalan.Seperti contoh
sebagai berikut :
A.
Cyber Law
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat pada saat ini
dalam pemanfaatan jasa internet juga mengaibatkan terjadinya kejahatan.
Yaitu Cybercrime, cybercrime merupakan perkembangan dari
komputer crime. Rene L. Pattiradjawane menjelaskan bahwa konsep hukum cyberspace, cyberlaw dan cyberline yang
dapat menciptakan komunitas pengguna jaringan internet yang luas (60 juta),
yang melibatkan 160 negara telah menimbulkan kegusaran para praktisi hukum
untuk menciptakan pengamanan melalui regulasi, khususnya perlindungan terhadap
milik pribadi.
John Spiropoulos mengungkapkan bahwa cybercrime juga memiliki sifat efisien dan cepat
serta sangat menyulitkan bagi pihak penyidik dalam melakukan penangkapan
terhadap pelakunya.
Cyberlaw adalah sebuah istilah
atau sebuah ungkapan yang mewakili masalah hukum terkait dengan penggunaan
aspek komunikatif, transaksional, dan distributif, dari teknologi serta
perangkat informasi yang terhubung ke dalam sebuah jaringan atau boleh
dikatakan sebagai penegak hukum dunia maya.
Beberapa topik utama diantaranya adalah perangkat intelektual, privasi,
kebebasan berekspresi, dan jurisdiksi, dalam domain yang melingkupi wilayah
hukum dan regulasi.
Cyberlaw lainnya adalah
bagaimana cara memperlakukan internet itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Code
and Other Laws of Cyberspace, Lawrence Lessig mendeskripsikan empat mode utama regulasi internet, yaitu:
1. Law (Hukum)
2. Architecture (Arsitektur)
3. Norms (Norma)
4. Market (Pasar)
Cyber
Law adalah sebuah istilah yang digunakan untuk merujuk pada hukum yang tumbuh
dalam medium cyberspace. Cyber law merupakan sebuah istilah yang berhubungan
dengan masalah hukum terkait penggunaan aspek komunikatif, transaksional, dan
distributif, dari teknologi serta perangkat informasi yang terhubung ke dalam
sebuah jaringan. Didalam karyanya yang berjudul Code and Other Laws of
Cyberspace, Lawrence Lessig mendeskripsikan empat mode utama regulasi internet,
yaitu:
·
Law (Hukum) East Coast Code (Kode Pantai
Timur) standar, dimana kegiatan di internet sudah merupakan subjek dari hukum
konvensional. Hal-hal seperti perjudian secara online dengan cara yang sama
seperti halnya secara offline.
·
Architecture (Arsitektur)West Coast Code
(Kode Pantai Barat), dimana mekanisme ini memperhatikan parameter dari bisa
atau tidaknya informasi dikirimkan lewat internet. Semua hal mulai dari
aplikasi penyaring internet (seperti aplikasi pencari kata kunci) ke program
enkripsi, sampai ke arsitektur dasar dari protokol TCP/IP, termasuk dalam
kategori Norms (Norma)Norma merupakan suatu aturan, di dalam l regulasi ini.
setiap kegiatan akan diatur secara tak terlihat lewat aturan yang terdapat di
dalam komunitas, dalam hal ini oleh pengguna internet.
·
Market (Pasar)Sejalan dengan regulasi
oleh norma di atas, pasar juga mengatur beberapa pola tertentu atas kegiatan di
internet. Internet menciptakan pasar informasi virtual yang mempengaruhi semua
hal mulai dari penilaian perbandingan layanan ke penilaian saham.
B.
Computer
Crime Act (Malaysia)
Pada tahun 1997
malaysia telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa perundang-undangan
yang mengatur berbagai aspek dalam cyberlaw seperti UU Kejahatan Komputer, UU
Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga perlindungan hak cipta
dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya. The Computer Crime Act
mencakup, sbb:
·
Mengakses material komputer tanpa ijin
·
Menggunakan komputer untuk fungsi yang
lain
·
Memasuki program rahasia orang lain
melalui komputernya
·
Mengubah / menghapus program atau data
orang lain
·
Menyalahgunakan program / data orang
lain demi kepentingan pribadi
C.
Council of Europe
Convention
on Cyber Crime
Council of Europe Convention on Cyber Crime (Dewan
Eropa Konvensi Cyber Crime),
yang
berlaku mulai pada bulan Juli 2004, adalah dewan yang membuat perjanjian internasional
untuk mengatasi kejahatan komputer dan kejahatan internet yang dapat menyelaraskan
hukum nasional, meningkatkan teknik investigasi dan meningkatkan kerjasama
internasional. berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI)
pada intinya memuat perumusan tindak pidana. Council of Europe Convention on
Cyber Crime ini juga terbuka untuk penandatanganan oleh negara-negara non-Eropa
dan menyediakan kerangka kerja bagi kerjasama internasional dalam bidang ini.
Konvensi ini merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan yang
dilakukan lewat internet dan jaringan komputer lainnya, terutama yang
berhubungan dengan pelanggaran hak cipta, yang berhubungan dengan penipuan
komputer, pornografi anak dan pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi
serangkaian kekuatan dan prosedur seperti pencarian jaringan komputer dan intersepsi
sah. Tujuan utama adanya konvensi ini adalah untuk membuat kebijakan kriminal
umum yang ditujukan untuk perlindungan masyarakat terhadap Cyber Crime melalui
harmonisasi legalisasi nasional, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan
peradilan, dan peningkatan kerjasama internasional. Selain itu konvensi ini
bertujuan terutama untuk:
·
Harmonisasi unsur-unsur hukum domestik
pidana substantif dari pelanggaran danketentuan yang terhubung di bidang
kejahatan cyber.
·
Menyediakan form untuk kekuatan hukum
domestik acara pidana yang diperlukan untuk investigasi dan penuntutan tindak
pidana tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan dengan menggunakan
sistem komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk elektronik
·
Mendirikan cepat dan efektif rezim
kerjasama internasional.
Jadi,
Perbedaan dari ketiga di atas yaitu :
Cyberlaw
merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu negara tertentu, dan peraturan
yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat negara tersebut. Jadi, setiap negara
mempunyai cyberlaw tersendiri. Sedangkan Computer Crime Law (CCA) Merupakan
Undang-undang penyalahan penggunaan Information Technology di Malaysia.
dan
Council of Europe Convention on Cybercrime Merupakan Organisasi yang bertujuan untuk
melindungi masyarakat dari kejahatan di dunia Internasional. Organisasi ini
dapat memantau semua pelanggaran yang ada di seluruh dunia. Jadi perbedaan dari
ketiga peraturan tersebut adalah sampai di mana jarak aturan itu berlaku. Cyberlaw
berlaku hanya berlaku di Negara masing-masing yang memiliki Cyberlaw, Computer
Crime Law (CCA) hanya berlaku kepada pelaku kejahatan cybercrime yang berada di
Negara Malaysia dan Council of Europe Convention on Cybercrime berlaku kepada
pelaku kejahatan cybercrime yang ada di seluruh dunia.
PERBEDAAN CYBER LAW DI BERBAGAI NEGARA (INDONESIA,
MALAYSIA, SINGAPORE, VIETNAM, THAILAND, AMERIKA SERIKAT)
CYBER LAW NEGARA INDONESIA :
Inisiatif
untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus
utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai transaksi elektronik. Pendekatan
“payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis yang dapat digunakan oleh
undang-undang dan peraturan lainnya. Namun pada kenyataannya hal ini tidak
terlaksana. Untuk hal yang terkait dengan transaksi elektronik, pengakuan
digital signature sama seperti tanda tangan konvensional merupakan target. Jika
digital signature dapat diakui, maka hal ini akan mempermudah banyak hal
seperti electronic commerce (e-commerce), electronic procurement
(e-procurement), dan berbagai transaksi elektronik lainnya.
Namun ternyata dalam perjalanannya ada beberapa
masukan sehingga hal-hal lain pun masuk ke dalam rancangan “cyberlaw”
Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk antara lain adalah hal-hal yang
terkait dengan kejahatan di dunia maya (cybercrime), penyalahgunaan penggunaan
komputer, hacking, membocorkan password, electronic banking, pemanfaatan
internet untuk pemerintahan (e-government) dan kesehatan, masalah HaKI,
penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi. Nama dari RUU ini pun berubah
dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi Elektronik, dan akhirnya
menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di luar negeri umumnya materi
ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang-undang.
Ada satu hal yang menarik mengenai rancangan
cyberlaw ini yang terkait dengan teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah
negara Eropa melakukan pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Salah
satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari aktivitas crackingnya
terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang bersangkutan. Yang
dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia mengunjungi Indonesia.
Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk mengunjungi sebuah
tempat di dunia.
CYBER LAW NEGARA MALAYSIA :
Digital Signature Act 1997 merupakan Cyberlaw
pertama yang disahkan oleh parlemen Malaysia. Tujuan Cyberlaw ini, adalah untuk
memungkinkan perusahaan dan konsumen untuk menggunakan tanda tangan elektronik
(bukan tanda tangan tulisan tangan) dalam hukum dan transaksi bisnis. Para
Cyberlaw berikutnya yang akan berlaku adalah Telemedicine Act 1997. Cyberlaw
ini praktisi medis untuk memberdayakan memberikan pelayanan medis / konsultasi
dari lokasi jauh melalui menggunakan fasilitas komunikasi elektronik seperti
konferensi video.
CYBER
LAW NEGARA SINGAPORE :
The Electronic Transactions Act telah ada sejak 10
Juli 1998 untuk menciptakan kerangka yang sah tentang undang-undang untuk
transaksi perdagangan elektronik di Singapore.
ETA
dibuat dengan tujuan :
·
Memudahkan komunikasi elektronik atas
pertolongan arsip elektronik yang dapat dipercaya;
·
Memudahkan perdagangan elektronik, yaitu
menghapuskan penghalang perdagangan elektronik yang tidak sah atas penulisan
dan persyaratan tandatangan, dan untuk mempromosikan pengembangan dari
undang-undang dan infrastruktur bisnis diperlukan untuk menerapkan menjamin /
mengamankan perdagangan elektronik;
·
Memudahkan penyimpanan secara elektronik
tentang dokumen pemerintah dan perusahaan
·
Meminimalkan timbulnya arsip alektronik
yang sama (double), perubahan yang tidak disengaja dan disengaja tentang arsip,
dan penipuan dalam perdagangan elektronik, dll;
·
Membantu menuju keseragaman aturan,
peraturan dan mengenai pengesahan dan integritas dari arsip elektronik; dan
·
Mempromosikan kepercayaan, integritas
dan keandalan dari arsip elektronik dan perdagangan elektronik, dan untuk
membantu perkembangan dan pengembangan dari perdagangan elektronik melalui
penggunaan tandatangan yang elektronik untuk menjamin keaslian dan integritas
surat menyurat yang menggunakan media
elektronik.
Di
dalam ETA mencakup :
·
Kontrak Elektronik
Kontrak elektronik ini didasarkan pada
hukum dagang online yang dilakukan secara wajar dan cepat serta untuk
memastikan bahwa kontrak elektronik memiliki kepastian hukum.
·
Kewajiban Penyedia Jasa Jaringan
Mengatur mengenai potensi / kesempatan
yang dimiliki oleh network service provider untuk melakukan hal-hal yang tidak
diinginkan, seperti mengambil, membawa, menghancurkan material atau informasi
pihak ketiga yang menggunakan jasa jaringan tersebut.
·
Tandatangan dan Arsip elektronik
Hukum memerlukan arsip/bukti arsip
elektronik untuk menangani kasus-kasus elektronik, karena itu tandatangan dan
arsip elektronik tersebut harus sah menurut hukum. Di Singapore masalah tentang
privasi, cyber crime, spam, muatan online, copyright, kontrak elektronik sudah
ditetapkan. Sedangkan perlindungan konsumen dan penggunaan nama domain belum
ada rancangannya tetapi online dispute resolution sudah terdapat rancangannya.
CYBER
LAW NEGARA VIETNAM :
Cyber crime,penggunaan nama domain dan kontrak
elektronik di Vietnam sudah ditetapkan oleh pemerintah Vietnam sedangkan untuk
masalah perlindungan konsumen privasi,spam,muatan online,digital copyright dan online
dispute resolution belum mendapat perhatian dari pemerintah sehingga belum ada
rancangannya. Dinegara seperti Vietnam hukum ini masih sangat rendah
keberadaannya, hal ini dapat dilihat dari hanya sedikit hukum-hukum yang
mengatur masalah cyber, padahal masalah seperti spam,perlindungan konsumen, privasi,
muatan online, digital copyright dan ODR sangat penting keberadaannya bagi
masyarakat yang mungkin merasa dirugikan.
CYBER
LAW NEGARA THAILAND :
Cybercrime dan
kontrak elektronik di Negara Thailand sudah ditetapkan oleh pemerintahnya,walaupun
yang sudah ditetapkannya hanya 2 tetapi yang lainnya seperti privasi,spam,digital
copyright dan ODR sudah dalalm tahap rancangan.
CYBERLAW
DI AMERIKA SERIKAT :
Di Amerika, Cyber Law yang mengatur transaksi
elektronik dikenal dengan Uniform Electronic Transaction Act (UETA). UETA
adalah salah satu dari beberapa Peraturan Perundang-undangan Amerika Serikat
yang diusulkan oleh National Conference of Commissioners on Uniform State Laws
(NCCUSL). Sejak itu 47 negara bagian, Kolombia, Puerto Rico, dan Pulau
Virgin US telahmengadopsinya ke dalam hukum mereka sendiri. Tujuan
menyeluruhnya adalah untuk membawa ke jalur hukum negara bagian yag berbeda
atas bidang-bidang seperti retensi dokumen kertas, dan keabsahan tanda tangan
elektronik sehingga mendukung keabsahan kontrak elektronik sebagai media
perjanjian yang layak. UETA 1999 membahas diantaranya mengenai :
·
Pasal 5 :
Mengatur
penggunaan dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik
·
Pasal 7 :
Memberikan
pengakuan legal untuk dokumen elektronik, tanda tangan elektronik, dan kontrak
elektronik.
·
Pasal 8 :
Mengatur
informasi dan dokumen yang disajikan untuk semua pihak.
·
Pasal 9 :
Membahas
atribusi dan pengaruh dokumen elektronik dan tanda tangan elektronik.
·
Pasal 10 :
Menentukan
kondisi-kondisi jika perubahan atau kesalahan dalam dokumen elektronik terjadi
dalam transmisi data antara pihak yang bertransaksi.
·
Pasal 11 :
Memungkinkan
notaris publik dan pejabat lainnya yang berwenang untuk bertindak secara
elektronik, secara efektif menghilangkan persyaratan cap/segel.
·
Pasal 12 :
Menyatakan
bahwa kebutuhan “retensi dokumen” dipenuhi dengan mempertahankan dokumen
elektronik.
·
Pasal 13 :
“Dalam
penindakan, bukti dari dokumen atau tanda tangan tidak dapat dikecualikan hanya
karena dalam bentuk elektronik”
·
Pasal 14 :
Mengatur
mengenai transaksi otomatis.
·
Pasal 15 :
Mendefinisikan
waktu dan tempat pengiriman dan penerimaan dokumen elektronik.
·
Pasal 16 :
Mengatur
mengenai dokumen yang dipindahtangankan.
Undang-Undang Lainnya :
·
Electronic Signatures in Global and
National Commerce Act
·
Uniform Computer Information Transaction
Act
·
Government Paperwork Elimination Act
·
Electronic Communication Privacy Act
·
Privacy Protection Act
·
Fair Credit Reporting Act
·
Right to Financial Privacy Act
·
Computer Fraud and Abuse Act
·
Anti-cyber squatting consumer protection
Act
·
Child online protection Act
·
Children’s online privacy protection Act
·
Economic espionage Act
·
“No Electronic Theft” Act
Undang-Undang
Khusus :
·
Computer Fraud and Abuse Act (CFAA)
·
Credit Card Fraud Act
·
Electronic Communication Privacy Act
(ECPA)
·
Digital Perfomance Right in Sound
Recording Act
·
Ellectronic Fund Transfer Act
·
Uniform Commercial Code Governance of
Electronic Funds Transfer
·
Federal Cable Communication Policy
·
Video Privacy Protection Act
Kesimpulan
Dalam hal ini Thailand masih lebih baik dari pada
Negara Vietnam karena Negara Vietnam hanya mempunyai 3 cyberlaw sedangkan yang
lainnya belum ada bahkan belum ada rancangannya.
Kesimpulan dari 5 negara yang dibandingkan adalah
Negara yang memiliki cyberlaw paling banyak untuk saat ini adalah
Indonesia,tetapi yang memiliki cyberlaw yang terlengkap nantinya adalah
Malaysia karena walaupun untuk saat ini baru ada 6 hukum tetapi yang lainnya
sudah dalam tahap perencanaan sedangkan Indonesia yang lainnya belum ada tahap
perencanaan.Untuk Thailand dan Vietnam,Vietnam masih lebih unggul dalam
penanganan cyberlaw karena untuk saat ini saja terdapat 3 hukum yang sudah ditetapkan
tetapi di Thailand saat ini baru terdapat 2 hukum yang ditetapkan tetapi untuk
kedepannya Thailand memiliki 4 hukum yang saat ini sedang dirancang.
A.
UU No. 19
Tentang Hak Cipta & Ketentuan Umum, Lingkup Hak
Cipta, Perlindungan Hak Cipta, Pembatasan Hak
Cipta
Di Indonesia, masalah hak cipta diatur dalam Undang-undang Hak Cipta, yaitu yang berlaku saat ini Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002. Dalam undang-undang tersebut pengertian hak cipta adalah “hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 1).
1.
Lingkup hak cipta
Lingkup Hak Cipta Diatur Di Dalam Bab 2 Mengenai
Lingkup Hak Cipta pasal 2-28 :
a. Ciptaan yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
b. Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim atau keputusan badan arbitrase atau keputusan jenis-jenis lainya.
a. Ciptaan yang dilindungi (pasal 12), Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup: buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain, ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu, alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim, seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan, arsitektur, peta, seni batik, fotografi, sinematografi, terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
b. Ciptaan yang tidak ada Hak Cipta (pasal 13), hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara, peraturan perundang-undangan, pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah, putusan pengadilan atau penetapan hakim atau keputusan badan arbitrase atau keputusan jenis-jenis lainya.
2.
Perlindungan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Kemudian yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12 ayat 1 :
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a.Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
c. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
d. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime.
e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. Arsitektur, peta, seni batik.
f. Fotografi dan Sinematografi.
g. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal 1 ayat 8, Yaitu :
Perlindungan hak cipta pada umumnya berarti bahwa penggunaan atau pemakaian dari hasil karya tertentu hanya dapat dilakukan dengan ijin dari pemilik hak tersebut. Kemudian yang dimaksud menggunakan atau memakai di sini adalah mengumumkan memperbanyak ciptaan atau memberikan ijin untuk itu.
Pasal 12 ayat 1 :
(1) Dalam Undang-undang ini ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, yang mencakup :
a.Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain.
b. Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
c. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
d. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantomime.
e. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan. Arsitektur, peta, seni batik.
f. Fotografi dan Sinematografi.
g. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, data base, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
(2) Ciptaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l dilindungi sebagai Ciptaan tersendiri dengan tidak mengurangi Hak Cipta atas Ciptaan asli.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), termasuk juga semua Ciptaan yang tidak atau belum diumumkan, tetapi sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata, yang memungkinkan Perbanyakan hasil karya itu.”
Menurut Pasal 1 ayat 8, Yaitu :
Program komputer adalah
sekumpulan instruksi yang diwujudkan dalam bentuk bahasa, kode, skema, ataupun
bentuk lain, yang apabila digabungkan dengan media yang dapat dibaca dengan
komputer akan mampu membuat komputer bekerja untuk melakukan fungsi-fungsi
khusus atau untuk mencapai hasil yang khusus, termasuk penyiapan dalam
merancang instruksi-instruksi tersebut.
Dan Pasal 2 ayat 2, Yaitu :
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer (software) memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
4. Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah “kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
Dan Pasal 2 ayat 2, Yaitu :
Pencipta dan /atau Pemegang Hak Cipta atas karya sinematografi dan program komputer (software) memberikan izin atau melarng orang lain yang tanpa persetujuannya menyewakan ciptaan tersebut untuk kepentingan yang bersifat komersial.
4. Pembatasan Hak Cipta
Pembatasan mengenai hak cipta diatur dalam pasal 14, 15, 16 (ayat 1-6), 17, dan 18. Pemakaian ciptaan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta apabila sumbernya disebut atau dicantumkan dengan jelas dan hal itu dilakukan terbatas untuk kegiatan yang bersifat nonkomersial termasuk untuk kegiatan sosial, misalnya, kegiatan dalam lingkup pendidikan dan ilmu pengetahuan, kegiatan penelitian dan pengembangan, dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari penciptanya. Kepentingan yang wajar dalam hal ini adalah “kepentingan yang didasarkan pada keseimbangan dalam menikmati manfaat ekonomi atas suatu ciptaan”. Termasuk dalam pengertian ini adalah pengambilan ciptaan untuk pertunjukan atau pementasan yang tidak dikenakan bayaran. Khusus untuk pengutipan karya tulis, penyebutan atau pencantuman sumber ciptaan yang dikutip harus dilakukan secara lengkap. Artinya, dengan mencantumkan sekurang-kurangnya nama pencipta, judul atau nama ciptaan, dan nama penerbit jika ada. Selain itu, seorang pemilik (bukan pemegang hak cipta) program komputer dibolehkan membuat salinan atas program komputer yang dimilikinya, untuk dijadikan cadangan semata-mata untuk digunakan sendiri.
B.
Prosedur Pendaftaran HAKI
Sesuai yang diatur pada bab IV
Undang-undang Hak Cipta pasal 35 bahwa pendaftaran hak cipta diselenggarakan
oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HAKI) yang kini
berada di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pencipta atau pemilik
hak cipta dapat mendaftarkan langsung ciptaannya maupun melalui konsultan HAKI.
Permohonan pendaftaran hak cipta dikenakan biaya (UU 19/2002 pasal 37 ayat 2).
Penjelasan prosedur dan formulir pendaftaran hak cipta dapat diperoleh di
kantor maupun situs web Ditjen HAKI. "Daftar Umum Ciptaan" yang
mencatat ciptaan-ciptaan terdaftar dikelola oleh Ditjen HAKI dan dapat dilihat
oleh setiap orang tanpa dikenai biaya. Prosedur mengenai pendaftaran HAKI
diatur dalam bab 4, pasal 35-44.
C.
UU no 36
Tentang Telekomunikasi
UU no.36 tentang telekomunikasi, azaz, dan
tujuan telekomunikasi, penyedikian, sanksi administrasi dan ketentuan pidana
Dibuatnya Undang Undang No 36 tentang
telekomunikasi berdasarkan pertimbangan-pertimbangan salah satunya adalah
Bahwa penyelenggara komunikasi mempunyai arti
strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar
kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan
hasil-hasilnya, serta meningkatkan
hubungan antar bangsa
Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36
Telekomunikasi adalah setiap
pemancaran, pengiriman atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda
tanda,isyarat,tulisan ,gambar,suara dan bunyi melalui system kawat,optic,radio
atau system elektromagnetik lainnya
Asas dan Tujuan Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36
Pasal 2
Telekomunikasi diselenggarakan
berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan,
kemitraan, etika, dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal 3
Telekomunikasi diselenggarakan
dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan
ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Penyidikan Telekomunikasi
berdasarkan Undang Undang No 36
Pasal 44
(1)Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
(2) Penyidik Pegawai Negeri
Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a.melakukan pemeriksaan atas
kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi;
b.melakukan pemeriksaan
terhadap orang dan atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di
bidang telekomuniksi.
c.menghentikan penggunaan alat
dan atau perangkat telekomunikasi yang menyimpang dari ketentuan yang berlaku;
d.memanggil orang untuk
didengar dan diperiksa sebagai saksi atau tersangka;
e.melakukan pemeriksaan alat
dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga digunakan atau diduga berkaitan
dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
f.menggeledah tempat yang
diduga digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
g.menyegel dan atau menyita
alat dan atau perangkat telekomuniksi yang digunakan atau diduga berkaitan
dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi;
h.meminta bantuan ahli dalam
rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang telekomunikasi; dan
i.mengadakan penghentian
penyidikan.
(3)Kewenangan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Sanksi Administrasi Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36
Pasal 45
Barang siapa melanggar ketentuan-ketentuan Pasal
16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), Pasal 19, Pasal 21, Pasal 25 ayat (2), Pasal 26
ayat (1), Pasal 29 ayat (1),Pasal 29 ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat
(2),Pasal 34 ayat (1), atau Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal 46
Pasal 46
(1)Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 45 berupa pencabutan izin.
(2)Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
Ketentuan Pidana Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36
(2)Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah diberi peringatan tertulis.
Ketentuan Pidana Telekomunikasi berdasarkan Undang Undang No 36
Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
Pasal 48
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp.
100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 49
Penyelenggara telekomunikasi yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah).
Pasal 50
Barang siapa yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 51
Pasal 51
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) atau Pasal 29
ayat (2) , dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 52
Barang siapa memperdagangkan, membuat, merakit,
memasukkan, atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah Negara
Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 ( satu)
tahun dan atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 53
(1)Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) atau Pasal 33 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda
paling banyak Rp. 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2)Apabila tindak pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya seseorang, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 54
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 ayat (2),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling
banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 55
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00
(enam ratus juta rupiah).
Pasal 56
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 57
Penyelenggara jasa
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42
ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau
denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 58
Alat dan perangkat
telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47, Pasal 48, Pasal 52, atau Pasal 56 dirampas untuk negara dan atau
dimusnahkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 59
Perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54,
Pasal 55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Keterbatasan UU Telekomunikasi Dalam Mengatur Penggunaan Teknologi
Informasi
Didalam UU No. 36
telekomunikasi berisikan sembilan bab yang mengatur hal-hal berikut ini ; Azas
dan tujuan telekomunikasi, pembinaaan, penyelenggaraan telekomunikasi,
penyidikan, sanksi administrasi, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan
ketentuan penutup. Undang-Undang ini dibuat untuk menggantikan UU No.3 Tahun
1989 tentang Telekomunikasi, karena diperlukan penataan dan pengaturan kembali
penyelenggaraan telekomunikasi nasional yang dimana semua ketentuan itu telah
di setujuin oleh DPRRI.
UU ini dibuat karena ada
beberapa alasan, salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan
perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat cepat telah mengakibatkan
perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap
telekomunikasi.
Dengan munculnya undang-undang
tersebut membuat banyak terjadinya perubahan dalam dunia telekomunikasi,antara
lain:
1. Telekomunikasi merupakan salah satu infrastruktur penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Perkembangan teknologi yang sangat pesat tidak hanya terbatas pada lingkup
telekomunikasi itu saja, maleinkan sudah berkembang pada TI.
3. Perkembangan teknologi telekomunikasi di tuntut untuk mengikuti norma dan
kebijaksanaan yang ada di Indonesia.
Apakah ada keterbatasan yang
dituangkan dalam UU no.36 Telekomunikasi tersebut dalam hal mengatur penggunaan
teknologi Informasi. Maka
berdasarkan isi dari UU tersebut tidak ada penjelasan mengenai batasan-batasan
yang mengatur secara spesifik dalam penggunaan teknologi informasi tersebut,
artinya dalan UU tersebut tidak ada peraturan yang secara resmi dapat membatasi
penggunaan teknologi komunikasi ini. Namun akan lain ceritanya jika kita
mencoba mencari batasan-batasan dalam penggunaan teknologi informasi berbasis
sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara
virtual, maka hal tersebut diatur dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik terutama BAB VII tentang Perbuatan yang Dilarang.
Untuk itu kita sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih
bijak dan berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan
memperhatikan peraturan dan norma yang ada.
UU No. 36
tentang Telekomunikasi dalam Mengatur Penggunaan Teknologi Informasi
Perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung
sangat cepat telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan
Iingkungan telekomunikasi yang baru, dan perubahan cara pandang dalam
penyelenggaraan telekomunikasi, termasuk hasil konvergensi dengan teknologi
informasi dan penyiaran, sehingga dipandang perlu mengadakan penataan kembali
penyelenggaraan telekomunikasi nasional.
Undang-Undang
No. 36 Tahun 1999 yang brisikan azas dan tujuan telekomunikasi,
penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan, sangsi administrasi dan ketentuan
pidana. Namun kita perlu mengetahui juga adakah keterbatasan UU
telekomunikasi tersebut dalam mengatur penggunaan teknologi informasi.
Kemudian Dalam UU No.36/1999 Pasal 3, disebutkan bahwa “Telekomunikasi
diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa,
meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,
mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan
hubungan antar bangsa”.
Dan selain itu ada juga Selain itu dalam UU No.36/1999 Pasal 26 tersebut
juga disebutkan bahwa "Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan
atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggaraan
telekomunikasi yang diambil dari presentase pendapatan". Mengenai
susunan dan besaran tarif penyelenggaraan jaringan dan jasa telekomunikasi yang
dimaksud dalam UU 36/1999 ditetapkan berdasarkan formula yang diatur dalam PP
No.52/2000 dan PERMEN KOMINFO No. 12/2006 sebagai peraturan pelaksana UU
tersebut
Pendapat :
menurut saya dengan adanya UU Telekomunikasi di
Indonesia, maka setiap penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa
telekomunikasi di Indonesia dapat mengerti dan memahami semua hal yang
berhubungan dengan telekomunikasi dalam bidang teknologi informasi dari mulai
azas dan tujuan telekomunikasi, penyelenggaraan telekomunikasi, penyidikan,
sangsi administrasi dan ketentuan pidana.
Dan kalau di tanya adakah keterbatasan UU
telekomunikasi,menurut saya tidak ada keterbatasan sama sekali, karena UU
itu dibuat untuk meminimalkan hal-hal yang tidak kita inginkan,di tambah lagi
di jaman modern sekarang.karena penggunaan teknologi informasi sangat
berpengaruh besar untuk negara kita,itu apa bila dilihat dari keuntungan buat
negara kita karena kita dapat secara bebas memperkenalkan kebudayaan kita
kepada negara-negara luar untuk menarik minat para turis asing.. jadi kita
sebagai pengguna teknologi informasi dan komunikasi harus lebih bijak dan
berhati-hati lagi dalam memanfaatkan teknologi ini dengan memperhatikan
peraturan dan norma yang ada.
Referensi :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar